Rabu, 11 Juni 2014

Sikap Bahasa (Language Attitude)



1.     Pengertian Sikap
Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Setidak-tidaknya terdapat dua pandangan yang saling berkompetensi dalam kaitannya dengan sikap. Pandangan pertama diikuti oleh kaum mentalis yang memandang sikap sebagai suatu keadaan kesiapan mental, suatu variable antara yang menjembatani suatu stimulus itu. Pandangan itu di antaranya terdapat pada Agheyesi dan Fishman (1970; 138); Cooper dan Fishman (1974:7). Sikap perorangan menyiapkannya untuk bereaksi dengan cara tertentu dan dalam wujud tertentu terhadap stimulus tertentu.
Sikap itu juga bisa diartikan sebagai fenomena kejiwaan yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun menurut banyak penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap bathiniah atau yang terdapat dalam bathin selalu keluar dalam bentuk perilaku yang sama ada dalam bathin. Banyak faktor yang mempengaruhi hubungan sikap bathin dan perilaku lahir. Oleh karena itu, sikap tidak dapat diamati secara empiris. Namun menurut kebiasaan jika tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, sikap yang berada di dalam bathin itu dapat diduga dari tindakan atau perilaku lahir.
Banyak penelitian telah dilakukan terhadap sikap, terutama dalam kaitannya dengan psikologi sosial. Triandis (1971:2-4) berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman  yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua obyek dan keadaan yang menyangkut sikap tersebut. Sedangkan Lambert (1967;91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif (pengetahuan), komponen afektif (penilaian), dan komponen konatif (putusan akhir). Apabila ketiga komponen itu sejalan maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukan sikap, tetapi apabila tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukan sikap. Edward (1957:7) mengatakan bahwa sikap hanyalah salah satu faktor yang tidak dominan dalam menentukan perilaku. Oppenheim (1976:71-75) dengan lebih tegas menyatakan bahwa kita belum tentu dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sedangkan Sugar (1967) berdasarkan penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat buah faktor utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi.

2.     Hubungan antara Sikap dengan Perbuatan
Betapapun terdapat hubungan antara sikap dan perbuatan, namun hubungan keduanya tidak bersifat langsung secara sistematis (Azwar, 1988 : 12). Maksudnya, suatu bentuk perilaku tertentu dalam kaitannya dengan suatu objek pastilah mencerminkan sikap tertentu, tetapi perilaku itu tidak selalu dijadikan indikaor sikap sesungguhnya.
            Hubungan antara sikap dengan perilaku telah agak banyak diteliti. Di antaranya Oppeheim (1976:75-76) yang menyatakan, kita belum tentu dapat meramaikan perbuatan atas dasar sikap. Sikap tidak dengan sendirinya dapat disimpulkan secara betul dari perbuatan, dan perbuatan tidak dengan sendirinya merupakan pernyataan sikap yang lebih terpercaya daripada variable verbal. Edwards menyatakan perbuatan dan sikap tidak memiliki hubungan langsung. Sikap sebagai faktor yang mempengaruhi atau menentukan perbuatan mungkin merupakan salah satu faktor saja yang paling dominan. Dari uraian tersebut, kita mengetahui, tidak terdapat hubungan langsung yang bersifat langsung antara perbuatan dan sikap. Betapapun perilaku atau perbuatan tidak memperlihatkan hubungan secara langsung dengan sikap, atau betapapun  perilaku tidak sepenuhnya mencerminkan sikap, namun kebanyakan ahli pengkajian sikap menyatakan, sikap seseorang mengena sesuatu mampu memberikan peramalan terhadap perilaku atau tingkah laku seseorang terhadap sesuatu dalam kaitannya dengan sikap tersebut.


3.     Terbentuknya sikap
Sikap dan kebiasaan mempunyai hubungan yang erat. Keduanya dibentuk melalui pengalaman sepanjang sejarah perkembangan hidup seseorang dalam kaitannya dengan objek tertentu. Namun demikian, sikap berbeda dari kebiasaan tingkah laku karena kebiasaan cenderung terjadi atau berlangsung secara otomatis. Misalnya, kebiasaan seseorang bangun tidur gosok gigi, mandi, makan pagi, terus berangkap ke kantor atau sekolah. Kebiasaan cenderung terjadi sesuatu mekanistis. Sekalian demikian, ada benarnya bahwa adanya sikap terhadap obyek tertentu dinyatakan atau terwujudkan melalui kebiasaan bertingkah laku tertentu.
Sikap bukan sesuatu yang menjadi sesaat, melainkan sesuatu yang berlangsung dalan jangka relative lama. Sikap adalah jaringan keyakinan dan nilai yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk berbuat atau bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu yang disenanginya. Sikap mencakup aspek kognisi, aspek afektif, dan konatif. Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan strereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif itu pada suatu segi dapat disamakan dengan pandangan atau opini terutama kalau menyangkut masalah isyu atau problem yang kontraversial. Persepsi sebagai salah satu unsure dari komponen kognitif sudah pasti tidak terbentul secara sesaat. Komponen afektif merupakan perasaaan individu terhadap obyek sikap  dan perasaan yang menyengkut masalah emosional. Komponen perilaku tak hanya terwujud dalam perilaku yang teramati secara langsung, tetapi juga berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan secara langsung. Sikap seseorang terbentuk oleh faktor-faktor yang datang dari luar (faktor eksternal) dan juga oleh faktor-faktor yang datang dari dalam (Faktor internal). Faktor-faktor internal itu di antaranya : pengalaman pribadi, daya pilah, daya seleksi, hasil pendidikan keluarga, sedangkan faktor-faktor eksternal meliputi lembaga pendidikan formal, orang lain yang dianggap sangat berpengaruh, kontak budaya lain, media massa, lapangan pekerjaaan.

4.     Pengertian Sikap Bahasa
Anderson (1974:37) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan, (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini dapat menyangkut keyakinan dan dan kognisi mengenai bahasa. Maka dengan demikian, menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk berinteraksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197).Sikap positif terhadap bahasa tertentu akan mempertinggi keberhasilan belajar bahasa itu. Sikap positif itu merupakan kontributor utama bagi keberhasilan belajar bahasa (Macmara dalam Shuy dan Fasold, 1973:36). Ditmar mengemukakan, pengertian sikap bahasa ditandai oleh sejumlah ciri yang antara lain meliputi : pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan-perbedaan dialektikal dan problema yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara individu. Dalam masyarakat multilingual, sikap bahasa seseorang yang ditentukan oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah topik pembicaraan (pokok masalah yang dibicarakan), kelas sosial masyarakat pemakai, kelompok umur, jenis kelamin, situasi pemakaian. Demikianlah, seseorang orang yang termasuk kelompok etnik Jawa tetapi sekaligus juga pemakai bahasa Indonesia, termasuk golongan dewasa atau tua, tentang upacara pengantin khas Jawa, ia akan cenderung memilih Bahasa Jawa yang baku daripada bahasa Indonesia. Hal itu menunjukkan adanya sikap positif terhadap bahasa yang dipilihnya. Lebih-lebih dia termasuk kelompok etnik jawa yang termasuk kelas sosial tinggi, tinggal di Jakarta di lingkungan masyarakat Indonesia golongan elite,, dia akan cenderung memilih bahasa Indonesia sekalipun tentang upacara perkawinan. Dalam hal ini ikatan primordial dengan budaya etnik Jawa barangkali sudah lentur sehingga sikapnya terhadap bahasa Jawa juga tidak positif lagi. Sikap bahasa positif juga ditunjukkan oleh seseorang yang cenderung memakai suatu bahasa secara santun, cermat, terpelihara, jelas baik mengenai ketepatan pilihan kata maupun kebakauan kaidah gramatiknya serta kejelasan, keruntutan jalan pikirannya. Sikap positif itu bersangkut paut dengan masalah distribusi perbendaharaan bahasa. Sikap positif juga tampak pada kebakuan pemakaian bahasa yang mengatasi dialek-dialek.
Terdapat tiga ciri sikap bahasa yang dirumuskan oleh Garvin dan Mathiot (1968) dan telah menunjukan kenyataan terhadap bahasa Indonesia dewasa ini. Ketiga ciri sikap bahasa yang dikemukakan Garvin dan Mathiot itu adalah sebagai berikut.
  1. Kesetiaan bahasa yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain;
  2. Kebanggaan bahasa yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang indentitas dan kesatuan masyarakat;
  3. Kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa.

Ketiga ciri tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya, apabila ketiga ciri sikap bahasa itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau sekelompok orang anggota masyarakat tutur dan tiadanya gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah dan bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap suatu bahasa bisa terjadi bila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya sendiri dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Banyak faktor yang bisa menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri, dan menumbuhkan pada bahasa lain, yaitu faktor politik, ras, etnis, dan gengsi.
            Sikap bahasa negatif akan menyebabkan mereka menjadi acuh terhadap pembinaan dan pelestarian bahasa, mereka menjadi tidak bangga lagi memakai bahasa itu sebagai penanda jati diri, bahkan mereka merasa malu memakai bahasa  itu sehingga memperlemah pemertahanan bahasa. Dalam keadaan demikian orang menjadi mudah beralih atau berpindah bahasa. Biasanya dalam suatu bahasa masyarakat bilingual atau multilingual terjadi beralih bahasa kepada yang lebih bergengsi, yang lebih menjamin kemudahan mencari pekerjaan atau kemudahan, yang lebih menjamin memperoleh kesempatan di sektor modern dan semacamnya. Masalah pemertahanan bahasa adalah masalah khas dalam masyarakat multilingual (Fasold : 1984 : 213). Berpindah bahasa sebenarnya merupakan suatu indikator kematian bahasa karena orang itu mulai meninggalkan bahasanya. Proses itu sudah barang tentu tidak secara total dan secara drastis. Gejala yang secara umum dijumpai adalah lapisan/kelompok muda lebih mudah terangsang untuk memakai sesuatu yang baru, yang mencerminkan kedinamisan (Fasold, 1984 : 215).
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal yaitu:
  1. Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
  2. Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.
Dari pembicaraan mengenai sikap bahasa di atas dapat dilihat bahwa sikap bahasa juga bisa memengaruhi seseorang untuk menggunakan sesuatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual. Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar