1.
Pengertian Sikap
Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk
tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau
tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau
pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Setidak-tidaknya
terdapat dua pandangan yang saling berkompetensi dalam kaitannya dengan sikap.
Pandangan pertama diikuti oleh kaum mentalis yang memandang sikap sebagai suatu
keadaan kesiapan mental, suatu variable antara yang menjembatani suatu stimulus
itu. Pandangan itu di antaranya terdapat pada Agheyesi dan Fishman (1970; 138);
Cooper dan Fishman (1974:7). Sikap perorangan menyiapkannya untuk bereaksi
dengan cara tertentu dan dalam wujud tertentu terhadap stimulus tertentu.
Sikap itu juga bisa diartikan sebagai fenomena kejiwaan yang
biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun menurut
banyak penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan
dari sikap bathiniah atau yang terdapat dalam bathin selalu keluar dalam bentuk
perilaku yang sama ada dalam bathin. Banyak faktor yang mempengaruhi hubungan
sikap bathin dan perilaku lahir. Oleh karena itu, sikap tidak dapat diamati
secara empiris. Namun menurut kebiasaan jika tidak ada faktor-faktor lain yang
mempengaruhi, sikap yang berada di dalam bathin itu dapat diduga dari tindakan
atau perilaku lahir.
Banyak penelitian telah dilakukan terhadap sikap, terutama
dalam kaitannya dengan psikologi sosial. Triandis (1971:2-4) berpendapat bahwa
sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang
dihadapi. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang
terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang
dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua obyek dan keadaan yang
menyangkut sikap tersebut. Sedangkan Lambert (1967;91-102) menyatakan bahwa
sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif (pengetahuan),
komponen afektif (penilaian), dan komponen konatif (putusan akhir). Apabila
ketiga komponen itu sejalan maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukan sikap,
tetapi apabila tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan
untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku
belum tentu menunjukan sikap. Edward (1957:7) mengatakan bahwa sikap hanyalah
salah satu faktor yang tidak dominan dalam menentukan perilaku. Oppenheim
(1976:71-75) dengan lebih tegas menyatakan bahwa kita belum tentu dapat menentukan
perilaku atas dasar sikap. Sedangkan Sugar (1967) berdasarkan penelitiannya
memberikan kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat buah faktor
utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi.
2.
Hubungan antara Sikap dengan
Perbuatan
Betapapun terdapat hubungan antara sikap dan perbuatan,
namun hubungan keduanya tidak bersifat langsung secara sistematis (Azwar, 1988
: 12). Maksudnya, suatu bentuk perilaku tertentu dalam kaitannya dengan suatu
objek pastilah mencerminkan sikap tertentu, tetapi perilaku itu tidak selalu
dijadikan indikaor sikap sesungguhnya.
Hubungan antara sikap dengan
perilaku telah agak banyak diteliti. Di antaranya Oppeheim (1976:75-76) yang
menyatakan, kita belum tentu dapat meramaikan perbuatan atas dasar sikap. Sikap
tidak dengan sendirinya dapat disimpulkan secara betul dari perbuatan, dan
perbuatan tidak dengan sendirinya merupakan pernyataan sikap yang lebih
terpercaya daripada variable verbal. Edwards menyatakan perbuatan dan sikap
tidak memiliki hubungan langsung. Sikap sebagai faktor yang mempengaruhi atau
menentukan perbuatan mungkin merupakan salah satu faktor saja yang paling
dominan. Dari uraian tersebut, kita mengetahui, tidak terdapat hubungan
langsung yang bersifat langsung antara perbuatan dan sikap. Betapapun perilaku
atau perbuatan tidak memperlihatkan hubungan secara langsung dengan sikap, atau
betapapun perilaku tidak sepenuhnya
mencerminkan sikap, namun kebanyakan ahli pengkajian sikap menyatakan, sikap
seseorang mengena sesuatu mampu memberikan peramalan terhadap perilaku atau
tingkah laku seseorang terhadap sesuatu dalam kaitannya dengan sikap tersebut.
3.
Terbentuknya sikap
Sikap dan kebiasaan mempunyai hubungan yang erat. Keduanya
dibentuk melalui pengalaman sepanjang sejarah perkembangan hidup seseorang
dalam kaitannya dengan objek tertentu. Namun demikian, sikap berbeda dari
kebiasaan tingkah laku karena kebiasaan cenderung terjadi atau berlangsung
secara otomatis. Misalnya, kebiasaan seseorang bangun tidur gosok gigi, mandi,
makan pagi, terus berangkap ke kantor atau sekolah. Kebiasaan cenderung terjadi
sesuatu mekanistis. Sekalian demikian, ada benarnya bahwa adanya sikap terhadap
obyek tertentu dinyatakan atau terwujudkan melalui kebiasaan bertingkah laku
tertentu.
Sikap bukan sesuatu yang menjadi sesaat, melainkan sesuatu
yang berlangsung dalan jangka relative lama. Sikap adalah jaringan keyakinan
dan nilai yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk berbuat atau
bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu yang disenanginya. Sikap
mencakup aspek kognisi, aspek afektif, dan konatif. Komponen kognitif berisi
persepsi, kepercayaan, dan strereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu.
Seringkali komponen kognitif itu pada suatu segi dapat disamakan dengan
pandangan atau opini terutama kalau menyangkut masalah isyu atau problem yang
kontraversial. Persepsi sebagai salah satu unsure dari komponen kognitif sudah
pasti tidak terbentul secara sesaat. Komponen afektif merupakan perasaaan
individu terhadap obyek sikap dan
perasaan yang menyengkut masalah emosional. Komponen perilaku tak hanya
terwujud dalam perilaku yang teramati secara langsung, tetapi juga berupa
pernyataan atau perkataan yang diucapkan secara langsung. Sikap seseorang
terbentuk oleh faktor-faktor yang datang dari luar (faktor eksternal) dan juga
oleh faktor-faktor yang datang dari dalam (Faktor internal). Faktor-faktor
internal itu di antaranya : pengalaman pribadi, daya pilah, daya seleksi, hasil
pendidikan keluarga, sedangkan faktor-faktor eksternal meliputi lembaga
pendidikan formal, orang lain yang dianggap sangat berpengaruh, kontak budaya
lain, media massa, lapangan pekerjaaan.
4.
Pengertian Sikap Bahasa
Anderson (1974:37) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1)
sikap kebahasaan, (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial,
sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini dapat menyangkut
keyakinan dan dan kognisi mengenai bahasa. Maka dengan demikian, menurut
Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif
berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang
memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk berinteraksi dengan cara
tertentu yang disenanginya. Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan
terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197).Sikap
positif terhadap bahasa tertentu akan mempertinggi keberhasilan belajar bahasa
itu. Sikap positif itu merupakan kontributor utama bagi keberhasilan belajar
bahasa (Macmara dalam Shuy dan Fasold, 1973:36). Ditmar mengemukakan,
pengertian sikap bahasa ditandai oleh sejumlah ciri yang antara lain meliputi :
pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan
bahasa, perbedaan-perbedaan dialektikal dan problema yang timbul sebagai akibat
adanya interaksi antara individu. Dalam masyarakat multilingual, sikap bahasa
seseorang yang ditentukan oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah topik
pembicaraan (pokok masalah yang dibicarakan), kelas sosial masyarakat pemakai,
kelompok umur, jenis kelamin, situasi pemakaian. Demikianlah, seseorang orang
yang termasuk kelompok etnik Jawa tetapi sekaligus juga pemakai bahasa
Indonesia, termasuk golongan dewasa atau tua, tentang upacara pengantin khas
Jawa, ia akan cenderung memilih Bahasa Jawa yang baku daripada bahasa
Indonesia. Hal itu menunjukkan adanya sikap positif terhadap bahasa yang
dipilihnya. Lebih-lebih dia termasuk kelompok etnik jawa yang termasuk kelas
sosial tinggi, tinggal di Jakarta di lingkungan masyarakat Indonesia golongan
elite,, dia akan cenderung memilih bahasa Indonesia sekalipun tentang upacara
perkawinan. Dalam hal ini ikatan primordial dengan budaya etnik Jawa barangkali
sudah lentur sehingga sikapnya terhadap bahasa Jawa juga tidak positif lagi.
Sikap bahasa positif juga ditunjukkan oleh seseorang yang cenderung memakai
suatu bahasa secara santun, cermat, terpelihara, jelas baik mengenai ketepatan
pilihan kata maupun kebakauan kaidah gramatiknya serta kejelasan, keruntutan
jalan pikirannya. Sikap positif itu bersangkut paut dengan masalah distribusi
perbendaharaan bahasa. Sikap positif juga tampak pada kebakuan pemakaian bahasa
yang mengatasi dialek-dialek.
Terdapat tiga ciri sikap bahasa yang dirumuskan oleh Garvin
dan Mathiot (1968) dan telah menunjukan kenyataan terhadap bahasa Indonesia
dewasa ini. Ketiga ciri sikap bahasa yang dikemukakan Garvin dan Mathiot itu
adalah sebagai berikut.
- Kesetiaan bahasa yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain;
- Kebanggaan bahasa yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang indentitas dan kesatuan masyarakat;
- Kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa.
Ketiga ciri tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif
terhadap bahasa. Sebaliknya, apabila ketiga ciri sikap bahasa itu sudah
menghilang atau melemah dari diri seseorang atau sekelompok orang anggota
masyarakat tutur dan tiadanya gairah atau dorongan untuk mempertahankan
kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda bahwa kesetiaan bahasanya
mulai melemah dan bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap
suatu bahasa bisa terjadi bila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai
lagi rasa bangga terhadap bahasanya sendiri dan mengalihkan rasa bangga itu
kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Banyak faktor yang bisa menyebabkan
hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri, dan menumbuhkan pada bahasa
lain, yaitu faktor politik, ras, etnis, dan gengsi.
Sikap bahasa negatif akan
menyebabkan mereka menjadi acuh terhadap pembinaan dan pelestarian bahasa,
mereka menjadi tidak bangga lagi memakai bahasa itu sebagai penanda jati diri,
bahkan mereka merasa malu memakai bahasa
itu sehingga memperlemah pemertahanan bahasa. Dalam keadaan demikian
orang menjadi mudah beralih atau berpindah bahasa. Biasanya dalam suatu bahasa
masyarakat bilingual atau multilingual terjadi beralih bahasa kepada yang lebih
bergengsi, yang lebih menjamin kemudahan mencari pekerjaan atau kemudahan, yang
lebih menjamin memperoleh kesempatan di sektor modern dan semacamnya. Masalah
pemertahanan bahasa adalah masalah khas dalam masyarakat multilingual (Fasold :
1984 : 213). Berpindah bahasa sebenarnya merupakan suatu indikator kematian
bahasa karena orang itu mulai meninggalkan bahasanya. Proses itu sudah barang
tentu tidak secara total dan secara drastis. Gejala yang secara umum dijumpai
adalah lapisan/kelompok muda lebih mudah terangsang untuk memakai sesuatu yang
baru, yang mencerminkan kedinamisan (Fasold, 1984 : 215).
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang
menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang
dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang
ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun menurut Lambert (1976)
motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal yaitu:
- Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
- Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.
Dari pembicaraan mengenai sikap
bahasa di atas dapat dilihat bahwa sikap bahasa juga bisa memengaruhi seseorang
untuk menggunakan sesuatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat
yang bilingual atau multilingual. Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat
yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi
pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya
pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang
positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis
dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali
memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa
Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena
banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali) muncul
kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang
kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain.
Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar