BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Manusia dilahirkan dalam dunia sosial di mana mereka
harus bergaul dengan manusia lain di sekitarnya. Sejak awal manusia sudah
bergaul dengan lingkungan sosial terdekat, meskipun masih berbentuk satu
arah-orang tua berbicara, dan bayi hanya mendengarkan saja. Dalam perkembangan
hidup selanjutnya, manusia mulai memperoleh bahasa setapak demi setapak. Pada
saat yang sama, manusia juga dibawa ke dalam kehidupan sosial di mana terdapat
rambu-rambu perilaku kehidupan. Rambu-rambu ini diperlukan karena meskipun
manusia itu dilahirkan bebas, tetap saja mereka harus hidup bermasyarakat. Ini
berarti bahwa manusia harus pula menguasai norma-norma sosial budaya yang
berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagian dari norma-norma ini tertanam dalam
bahasa sehinngga kompetensi anak tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan
pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use).
Dengan kata lain, anak harus pula menguasai kemampuan pragmatik.
Suatu informasi pada dasarnya mensyaratkan kecukupan
(sufficient) dalam struktur internal informasi itu sendiri sehingga orang yang
diajak komunikasi dapat memahami pesan dengan tepat. Persoalan akan muncul,
bagaimana jika informasi itu hanya dapat dipahami dari konteksnya. Deiksis
adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan keniscayaan hadirnya acuan ini
dalam suatu informasi. Menariknya, meski deiksis ini erat kaitannya dengan
konteks berbahasa, namun tidak masuk dalam kajian pragmatik karena sifatnya
yang teramat penting dalam memahami makna semantik. Dengan kata lain deiksis
merupakan ikhtiar pragmatik untuk memahami makna semantik.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian deiksis?
2. Apa
saja jenis-jenis deiksis?
3. Apa
saja bentuk-bentuk deiksis?
4. Bagaimana
pembalikan deiksis?
5. Apa
saja penjenisan lain dari deiksis?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian deiksis.
2
Untuk mengetahui
jenis-jenis deiksis.
3
Untuk mengetahui
bentuk-bentuk deiksis.
4
Untuk mengetahui
pembalikan deiksis.
5
Untuk mengetahui
penjenisan lain dari deiksis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN DEIKSIS
Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti
“menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata lain informasi kontekstual secara
leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat,
ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis. Deiksis didefinisikan sebagai
ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya dalam kalimat “Saya
mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat di
telusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari
konteks ujaran itulah yang di sebut deiksis.
Dalam KBBI deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi
yang menunjuk sesuatu di luar bahasa.
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen
berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang Yudi
Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat
tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna
yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan
identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang
dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan
waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons,
1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).
Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata
dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau
berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat
dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah
rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk
kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan
(1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).
Pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian
anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi
pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di
dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang
mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di
depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).
Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa
deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi
yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk
pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya.
Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen
sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk
yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas
untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa
itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiksis.
Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini,
sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat
mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat
orientasi deiksis adalah penutur.
2.3
JENIS DEIKSIS
Dalam
kajian pragmatik dikenal adanya enam jenis deiksis yaitu deiksis persona,
(orang), penunjuk, tempat, waktu, wacana, dan sosial. Berikut akan dipaparkan
keenam deiksis tersebut.
(1) Deiksis
Persona
Deiksis
persona secara langsung diwujudkan dalam kategori gramatikal tentang persona
(orang), menjadi persona 1, persona 2 dan persona 3. Berbeda dengan persona
pertama dan kedua, persona 3 tidak berhubungan langsung dengan peran partisipan
apapun dalam tiap peristiwa tutur. Dalam deiksis persona yang menjadi kriteria
adalah peran partisipan yaitu peran sebagai penutur (orang ke-1), sebagai
pendengar (orang ke-2), dan “yang dibicarakan” menjadi orang ke-3. Cara yang
lazim untuk mengkodekan deiksis persona adalah dengan memakai pronominal (kata
ganti orang), seperti : saya, aku, kamu, engkau, ia, dia, beliau, kami, kita,
mereka, atau memakai nama diri seperti : saudara, bapak, ibu, tuan, dsb. (untuk
orang ke-2). Selain itu, deiksis persona juga mencakupi bentuk-bentuk lain dari
pronominal tersebut, seperti : ku-, -ku, -mu, -nya, dan kau.
(2) Deiksis
Penunjuk
Dalam
bahasa Indonesia kita menyebutnya demonstratif (kata ganti penunjuk). Kata ini
digunakan untuk menunjuk sesuatu yang dekat dengan penutur, dan itu digunakan
untuk menunjuk sesuatu yang jauh dari penutur. “Sesuatu” itu bukan hanya benda
atau barang melainkan juga keadaan, peristiwa, bahkan waktu. Berikut contoh-contohnya
:
1. Masalah ini harus kita selesaikan
segera.
2. Ketika peristiwa itu terjadi, saya
masih kecil.
3. Saat ini saya belum bisa ngomong.
(3) Deiksis Tempat
Deiksis
tempat dan deiksis ruang berkaitan dengan spesifikasi tempat relatif ke titik
labuh dalam peristiwa tutur. Pentingnya spesifikasi tempat ini tampak pada
kenyataan bahwa ada dua cara mendasar
dalam mengacu objek, yaitu dengan mendeskripsikan atau menyebut objek
atau dengan menempatkannya di suatu lokasi. Lokasi itu dapat dispesifikasikan
relatif kepada objek atau titik acuan yang
pasti. Misalnya:
a. Stasiun
kereta api itu terletak 200 meter dari gereja katedral
b. Bedugul
terletak 1.500 meter di atas permukaan laut
Secara deiksis keduanya dapat
dispesifikasikan relatif kepada lokasi partisipan pada saat berbicara, seperti
dalam :
a. Stasiun
itu 200 meter dari sini
b. Bedugul
itu sama dinginnya dengan di sini
Deiksis tempat adalah pemberian bentuk
kepada lokasi ruang (tempat) dipandang dari lokasi pemeran dalam peristiwa
tutur. Deiksis tempat berhubungan dengan deiksis penunjuk “ini dan
itu”. Di dalam menganalisis kalimat, semua bagian kalimat yang mengacu
tempat disebut juga adverbial, dan kata-kata begini biasanya didahului dengan
kata di, dalam atau pada, membentuk frase depan. Misalnya, di rumah, pada
bangku, dalam kamar. Frase-frase semacam itu tampaknya tidak digolongkan ke
dalam deiksis karena acuannya tetap,
karena kata rumah, kamar, bangku, kapan
pun dan dimana pun, mempunyai acuan yang tetap ; berbeda dengan sini dan sana.
Hanya perlu diingat bahwa kedua deiksis ini biasa didahului dengan di dan
ke, menjadi di sini dan di sana; ke sini dan ke sana. Masih bisa dipertanyakan
adalah kata ke mana dan di mana, dalam kalimat seperti :
1. Ke
mana dia pergi ?
2. Entah,
saya taruh di mana pensil tadi
3. Saya
tak tahu dia ke mana dan di mana
Kata-kata tersebut tergolong keterangan
tempat ; acuannya bukan hanya “tidak tetap” tetapi bahkan “tidak jelas”. Dengan
pengertian acuan yang “tidak jelas” itu barangkali kata-kata ini dapat
digolongkan deiksis tempat, karena “tidak jelas” berarti “bisa di mana-mana”,
di sembarang tempat, dan tidak pasti.
(4)
Deiksis Waktu
Deiksis
ini, yang di dalam tata bahasa disebut
adverbial atau keteangan waktu, adalah pengungkapan kepada titik atau jarak
waktu dipandang dari saat suatu ujaran terjadi, atau pada saat seorang penutur
berujar. Waktu ketika ujaran terjadi diungkapkan dengan sekarang atau
saat ini. Untuk waktu-waktu
berikutnya terdapat kata-kata besok, lusa, nanti, kelak; untuk waktu “sebelum”
waktu terjadinya ad kita menemukan tadi, kemarin, minggu lalu, ketika itu,
dahulu. Dasar untuk menghitung dan mengukur waktu dalam banyak bahasa tampak
bersifat siklus alami dan nyata, aitu siklus hari dan malam (dari pagi sampai
malam hari), hari (dalam satu minggu dengan nama-namanya), bulan (berikut
nama-namanya), musim (di Indonesia ada musim hujan dan musim kemarau), dan
tahun. Satu-satuan waktu itu dapat digunakan baik sebagai pengukur (sekian
hari, sekian bulan, sekian tahun) atau sebagai kalender untuk menempatkan
peristiwa tutur dalam waktu pasti (jam ini hari ini bulan ini tahun ini).
Dalam
hal deiksis waktu patut dicatat pentingnya membedakan saat ujaran (atau saat
menullis) atau waktu pengenkodean (coding time = CT) dan waktu penerimaan
(receiving time = RT). Sebagaimana sudah disinggung ketika kita berbicara
tentang situasi kanonik, RT dapat diasumsikan identik dengan CT karena
situasinya adalah situasi tatap muka. Jika tidak dalam situasi tatap muka, kita
bisa menemui kesulitan. Kita lihat, misalnya, bagaimana deksis waktu
berinteraksi dengan ukuran-kultural seperti kata hari ini, kemarin dan besok.
Kita dapat mengatakan, misalnya, bahwa
hari ini berarti ‘rentang waktu
termasuk CT’, dan kemarin berarti ‘rentan hari sebelum rentang waktu termasuk
CT/, dst. Tetapi bisa jadi kemarin mengacu kepada dua acuan yaitu (i) mengacu
kepada rentang waktu yang utuh seperti pada kallimat Kemarin adalah hari Rabu;
atau (ii) mengacu kepada sebagian dari rentang waktu itu: Kemarin dia
memanggang ikan. Waktu juga tidak jelas
jika kita menerima “janji begini: Sampai
ketemu hari Minggu ya. Dapat dipertanyakan, Minggu itu mengacu ke hari Minggu depan, atau
Minggu-minggu lain di masa depan.
Aspek
lain yang menunjukkan interaksi antara perhitungan menurut kalender dengan
deiksis waktu tampak ketika kita mempertimbangkan keterangan waktu sepaerti
Selasa lalu, tahun depan, bulan berikutnya, sore nanti, mala ini. Semua itu
merupakan gabungan antara “keterangan” deiksis, yaitu lalu,depan, berikutnya,
nanti ini, dengan nama nondeiksis, atau kata-pengukur yaitu Selasa, tahun,
bulan, sore, dan malam.
Sebagaimana
batasan deiksis, yang mempunyai referen yang tidak tetap, deiksis waktu pun
mengacu kepada rentang waktu yang dapat berubah-ubah. Perhatikan beberapa
contoh berikut: kata sekarang mengacu kepada (1) saat penutur berbicara sampai
dengan (5) waktu yang sangat panjang tetappi tidak jelas batasnya.
1. Karena
kamu sudah ngomong, maka sekarang saya ganti gomong.
2. Sekarang
hari Minggu, besok…senin.
3. Janjinya
Minggu kedua Januari, sekarang sudah Minggu ketiga.
4. Seharusnya
tahun 2002, ya… sekarang, dia pensiun.
5. Sekarang
kan zaman edan, jadi semua orang pun edan.
(5)
Deiksis Wacana
Berbeda
dengan keempat deiksis yang sudah disebut, yang mengacu kepada referen tertentu
meskipun referen itu berubah-ubah, deiksis wacana harus dirumuskan dengan lebih
dahulu melihatnya di dalam wacana tertentu. Deiksis di sini, misalnya, dapat dikatakan mengacu
kepada tempat yang dekat dengan penutur. Deiksis wacana, atau deiksis teks,
tidak dapat dikatakan dengan cara begitu. Deiksis wacana adalah mengacu kepada
bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diperankan (sebelumnya) dan atau
yang sedang dikembangkan (yang akan terjadi). Deiksis wacana berhubungan dengan
penggunaan ungkapan di dalam suatu ujaran untuk mengacu kepada suatu bagian
wacana yang mengandung ujaran itu (termasuk ujaran itu sendiri). Kita juga
dapat memasukkan ke dalam deiksis wacana sejumlah cara lain di mana sebuah
ujaran mensinyalkan hubungan dengan teks yang mengelilinginya. Misalnya, karena
wacana itu mengungkapkan waktu, maka wajar saja jika kata-kata deiksis waktu
dapat dipakai untuk mengacu kapada bagian-bagian wacana tersebut. Begitulah,
jika mempunyai deiksis waktu seperti Minggu, bulan berikut, awal tahun, maka
untuk deiksis wacana kita dapat juga memakai bentuk akhir paragraph, bab
berikut, awal paragraph, dsb. Dalam bahasa Indonesia kata-kata demikian
biasanya didahului dengan preposisi seperti di, pada, dalam.
Contoh:
Hal
itu sudah dikemukakan pada akhir bab.
Perhatikan
awal paragraph ketiga.
Bab
berikut membahas tentang rangkum buku.
Dua contoh pertama menunjukkan bahwa
deiksis wacana mengacu kepada bagian wacana yang sudah disebut atau yang sudah
ada, sedangkan pada contoh terakhir deiksis wacana mengacu kepada bagian wacana
yang ada di belakangnya.
Kita
juga mempunyai kata deiksis tempat yang dapat digunakan terutama demonsratif
ini, itu,di situ,begini, begitu, demikian yang dapat mengacu kepada bagian
tertentu dari wacana. Contoh:
Saya
percaya Anda belum pernah mendengarkan cerita ini.
Itu
cerita paling lucu yang pernah saya dengar.
Di
sini sudah tampak keraguan penulis.
(6) Deiksis Sosial
Deiksis
sosial berhubungan dengan aspek-asek kalimat yang mencerminkan
kenyataan-kenyataan tertentu tentang situasi sosial ketika tindak tutur
terjadi. Deiksis sosial menunjukkan perbedaan-perbedaan sosial (perbedaan yang disebabkan oleh factor-faktor
social seperti jenis kelamin, usia, kedudukan didalam masyarakat, pendidikan,
pekerjaan, dsb. yang ada para partisipan
dalam sebuah komunikasi verbal yang nyata, terutama yang berhubungan dengan
segi hubungan peran antara penutur dan petutur, atau penutur dengan topik atau
acuan lainnya. Dapat dikatan bahwa deiksis social itu adalah deiksis yang
disamping mengacu keadaan referen tertentu,
juga mengandung konotasi social
tertentu, khusus nyaa para deiksis persona. Dalam bahasa Indonesia hal itu
tampak, misalnya dalam penggunaan kata sapaan kamu, kau, anda, saudara, Tuan,
Bapak, Ibu, dsb. Dan deiksis persona bagii penutur seperti saya, aku, hamba,
patik, atau enggunaan nama diri. Dalam bahasa yang mengenal tingkatan-tingkatan
(unda usuk) bahasa, seperti bahasa jawa, perbedaan itu diwujudkaan dalam
bentuk-bentuk yang berbeda. Beberapa contoh ;
1) Majikan
: “ Inem “
Pembantu
: “ saya Tuan “
2) (
dalam bahasa jawa ) Majikan : “Inem “
Pembantu : “
Dalem, ndara “
Penggunaan saya ( dalem ) dan Tuan (
ndara ) menunjukkan hubungan social antara dua orang yang kedudukannya tidak
sejajar (tidak seemitris), seperti hubungan antara majikan dan pembantunya..
Jadi,
sebenarnya ada banyak aspek pengguna bahasa yang bergantung kepada hubungan
sosial antara penutur-penutur itu, tetapi penggunaan ini hanya relevan bagi
deiksis sosial yang sudah digramatikalkan, seperti pronominal yang mengandung
rasa “sopan “ dan kata sapa. Harus ada pula diakui adanya banyak manifeestasi
dari deiksisis social dikodekan dalam banyak bahasa, yaitu relasional
(relation) dan mutlak (absolute) yang relasion itu berhubungan dengan
relasi-relasi antara :
(a) Penutur
dan acuan (misalnya honorifiks acuan)
(b) Penutur
dan petutur (misalnya honorifiks petutur)
(c) Penutur
dan pendengar/penonton yang bukan petutur (misalnya honorifiks pendengar)
(d) Penutur
dan latar (misalnya tingkat-tingkat formalitas)
Ragam hubungan itu menjadi amat rumit
dalam bahasa-bahasa yang mengenal tingkat-tingkat tutur, atau unda usuk (bahasa
jawa) atau sor- singgih (bahasa bali)
2.3
BENTUK DEIKSIS
Tentang
bentuk deiksis biasanya dihubungkan dengan jumlah pendukungnya. Dari situ dapat
dilihat adanya golongan deiksis yang berikut.
1. Deiksis
Morfem, yakni deiksis yang tidak berbentuk kata sebagai morfem bebas, melainkan
berbentuk morfem terikat, seperti awalan atau akhiran. Misalnya, ku- (diikuti
verba), -ku, -mu,-nya (seperti dalam miliku, memandangmu, di depannya).
2. Deiksis
kata, yakni deiksis yang hanya terdiri dari satu kata, seperti : ini, sana,
aku, begitu,ia, sekarang, kelak, Tuan, hamba.
3. Deiksis
frase, yakni deiksis yang terdiri dari dua kata atau lebih, misalnya : di sini,
esok pagi, tuan hamba, paduka tuan, pada waktu itu, di kelak kemudian hari.
Penggolongan
deiksis sebagaimana dikemukakan di atas bukanlah satu-satunya model
penggolongan. Para penganut aliran pragmatik yang lebih “modern” mengemukakan adanya pemillihan lain,
yakni deiksis luar-tuturan atau luar-ujaran atau luar-ujaran ( atau eksofora )
dan deiksis dalam-tuturan atau dalam ujaran ( atau endofora ).
1
Deiksis Luar-tuturan
Deiksis
ini mencakupi empat deiksis yang sudah disebut di atas, yakni deiksis persona,
penunjuk, tempat, dan waktu. Yang dimaksud dengan deiksis luar-tuturan adalah
deiksis yang acuannya di luar teks verbal, di luar apa yang diujarkan atau
dituturkan, berada pada konteks situasi. Teks adalah sepotong atau sepenggal
bahasa lisan atau tertulis ( Richards dkk,..1985 ). Teks dapat dilihat dari
segi strukturnya ( misalnya, berupa kalimat atau cakapan ) dan atau fungsinya (
misalnya untuk memperingatkan, menyuruh, bertanya, dsb. ) suatu pemahaman
tuntas terhadap sebuah teks sering tidak dimungkinkan tanpa melihat konteks
tempat terjadinya teks itu. sebuah teks dapat terdiri dari dari satu kata
misalnya, “ masuk “ dan “ keluar “ pada pelataran parker; “BERBAHAYA “ sebagai
peringatan yang tertempel pada gardu listrik, atau teriakan “ Api!” ketika
kebakaran; atau dapat sangat panjang.
Ceramah,
khotbah, novel, perdebatan. Teks-teks sebagaimana dicontohkan di atas sering
disebut wacana. Teks itu bukan merupakan satuan gramatikal ( sebagaimana
morfem, frase, klausa, kalimat ), satuan yang lebih banyak diatur oleh kaidah
gramatika, melainkan satuan semantik.
Contoh anaphora :
Pak karta itu orang baik, istrinya juga
Dia dan istrinya adalah orang baik semua
Sekarang senin, jadi lusa adalah hari
Rabu.
Kita
lihat bahwa deiksis- nya yang ada dalam ujaran ( tuturan ) mengacu kepada dia (
pak Karta ) yang juga berada di dalam ujaran atau teks yang sama. Deiksis
waktu, lusa, juga mengacu kepada Rabu, yang ada dalam teks ujaran.
2.
Deiksis dalam tuturan
Deiksis
ini acuannya berada dalam teks atau tuturan. Menurut Nababan mengenai deiksis wacana, yaitu yang
mencakupi anaphora dan katafora. Berbeda dengan Nababan, Kaswanti Purwo
mengatakan bahwa deiksis dalam tuturan dibagi dua yaitu anaphora dan katafora.
Jadi, deiksis dalam tuturan serupa dengan deiksis wacana. Deiksis anaphora
mengacu kepada sesuatu yang disebut; didalam teks tertulis deiksis ini tampak
mengacu kesebelah kiri atau kebagian atas. Sebaliknya, deiksis katafora mengacu
ke acuan ke sebelah kanan atau di bawahnya.
Contoh :
1. “masalah
ini diangap selesai, begitu putusannya”
2. “
begini saja : ambil depositomu dan bayar utangmu !”
3. “hallo,
selamat sore, saya, Paijo, boleh saya bicara dengan Asiah ?”
Deiksis
begitu dan begini tidak mengacu kepada satu kata yang mewakili benda atau
peristiwa, melainkan kepada “seluruh ujaran” sebelum atau sesudahnya. Deiksis ini
bukan deiksis persona, tempat, waktu, karena itu perlu dicarikan istilah
sendiri : deiksis petunjuk.
Pada
contoh (3) kita berhadapan dengan apa yang di dalam gramatika disebut aposisi,
yaitu dua unsur kalimat (biasanya nomina) yang sederajat dan mempunyai acuan
yang sama atau setidak-tidaknya , salah satu unsur mancakupi acuan unsur yang
lain. Dalam contoh di atas saya dan Paijo kedudukannya dalam kalimat tersebut
sederajat dan mengacu kepada orang yang sama, dalam hal ini adalah penutur.
Dalam hal ini kita dapat mengatakan hal seperti ini: saya Paijo, tetapi Paijo
belum tentu saya, karena masih banyak Paijo-paijo yang lainnya. Padanannya :
mawar itu pasti bunga tetapi bunga belum tentu mawar.
2.4.
PEMBALIKAN DEIKSIS
Saat
ini kita ketahui bahwa deiksis itu bersifat egosentris, berpusat kepada “saya”
yaitu penutur. Semua pengacuan atau penunjukan bertitik labuh kepada penutur.
Deiksis penunjuk ini mengacu kepada sesuatu yang dekat dengan penutur, itu
untuk sesuatu yang jauh dari penutur; sekarang mengacu kepada waktu ketika
penutur berbicara; sini mengacu kepada tempat yang dekat dengan penutur ketika
berbicara.
Namun,
ada kenyataan bahwa pengacuan atau penunjukan tersebut tidak bertitik labuh
pada penutur, tidak bersifat egosentris. Kaswanti Purwo mengatakan hal itu
sebagai pembalikan deiksis. Pembalikan seperti ini dapat terjadi pada deiksis
luar-tuturan atau dalam tuturan. Pembalikan deiksis luar-tuturan tampak pada
percakapan lewat telepon dan dalam surat (khususnya surat pribadi). Perhatikan
percakapan telepon berikut:
(1)
Ani :
“Halo……. Ade, ya?”
Ade : “ He-eh. Gimana, An?”
Ani : “Baik. Gimana kamu di sini?”
Ade : “Baik juga. Cuma hujan terus. Di sini
hujan juga ya?”
Dalam
wacana telepon di atas kata di sini yang diujarkan Ani mengacu kepada tempat
Ade, petutur atau pendengar, dan bukan tempat Ani, penutur. Sebaliknya, di sini
yang diujarkan Ade mengacu kepada tempat Ani, yang bukan penutur, melainkan
petutur atau pendengar. Jadi, titik labuh itu dibalik dari penutur ke petutur.
Hal
serupa juga terjadi pada surat berikut:
(3) Ade,
Surat
Ade udah Ani terima. Trims. Gimana kabarmu di sini? Udah ujan?
Kalo
udah, anget dong; nggak kepanesan.
Ade
nanya pacar Ani? Wah, Ani udah di–PHK lama sekali.
Surat
kedua karib ini memakai ragam santai dan akrab. Dalam surat tadi, “di sini“mengacu
kepada tempat penerima surat, pembaca yang sepadan dengan petutur, bukan kepada
penulis,yang sepadan dengan penutur.
Di
samping kedua hal tersebut, ada pula kenyataan bahwa di dalam percakapan sering
terjadi pengulangan ujaran penutur, bukan oleh penuturnya sendiri melainkan
oleh pendengar atau petuturnya. Dalam hal seperti itu dapat terjadi pembalikan
deiksis juga, yang biasa tutur berbalik (echo utterance) atau penggunaan tutur
berkutip (quotional use).
Perhatikan percakapan berikut:
A
: “ Jangan paksa saya membunuh. Tidak. Saya tak bisa.”
B
: “ Apa katamu? “Saya tak bisa?”Saya tak bisa? Harus bisa!”
Kita
lihat deiksis saya pada A mengacu kepada dirinya sendiri. Juga pada bagian
ujaran yang berbunyi, “Saya tak bisa.” Namun, pada B, ujaran si A tadi diulang
atau “dikutip” oleh B (dan di dalam tulisan pun ujarantersebut diberi tanda
kutip ‘----‘), sehingga deiksis saya yang diujarkan oleh B (penutur) sebenarnya
mengacu kepada A yang pada saat ujaran itu dikutip, bertindak sebagai pendengar, bukan penutur.
Jadi, ujaran B itu berbalik kepada A dalam wujud pengguna “kutipan” bagian
ujaran yang utuh dan asli, dan deiksis persona ke-1 (saya) dipakai untuk
“pengganti” persona ke-2 (kamu, kau).
2.5.
PENJENISAN LAIN DARI DEIKSIS
Di samping penjenisan deiksis menjadi enam
sebagaimana yang dikemukakan di depan, para pakar, antara lain Nababan, juga
menyebut penjenisan lain, yakni deiksis sejati dan taksejati, dan deiksis
kinesik dan simbolik.
Deiksis
sejati adalah kata atau frase yang maknanya dapat diterangkan seluruhnya dengan
konsep deiksis tanpa mengaitkannya, misalnya dengan kondisi social. Deiksis sejati termasuk ke dalam kata-kata
yang tergolong deiksis persona, waktu, penunjuk, dan tempat: saya, dia, di
sini, itu, sekarang, dsb. Kata-kata tersebutlah yang selalu dipakai sebagai
kata pengacu.
Deiksis
taksejati adalah kata atau frase yang maknanya hanya sebagian berupa deiksis
dan sebagian fungsinya adalah nondeiksis. Dapat pula dikatakan, deiksis ini di
samping mempunyai fungsi sebagai deiksis (sebagai pengacu acuan yang
berubah-ubah) juga sebagai nondeiksis (mempunyai makna lain yang tidak bersifat
mengacu).
Deiksis
kinesik dan simbolik dikemukakan oleh FILLMORE (1971), yang masing-masing
disebutkan gestural deictic usage (penggunaan deiksis dengan gerak anggota
tubuh) dan simbolik deictic usage (penggunaan deiksis dengan lambang). Kata
atau frase yag dipakai secara kinesik dapat dipahami hanya dengan pengamatan
langsung terhadap gerak anggota badan (gesture), seperti acungan jari telunjuk,
lambaian tangan, anggukan kepala, dalam peristiwa berbahasa melalui
pendengaran, penglihatan, dan rabaan.
Misalnya,
a. “Bukan dia guru saya, tetapi dia. Dia
adalah Bapak saya.”
b. “ Kau boleh pergi, tetapi kau harus tinggal di sini.”
Dalam kalimat (1) kita akan tahu siapa
yang dimaksud dengan dia jika kita melihat langsung siapa yang ditunjuk oleh
penutur. Demikian juga kau dalam kalimat (2).
Sebaliknya,
penggunaan kata secara simbolis hanya memerlukan pengetahuan tentang faktor
tempat dan waktu (kadang-kadang factor social juga) dari peristiwa berbahasa
itu untuk dapat memahami siapa dan apa yang dimaksud dalam kalimat itu.
Misalnya, hanya dengan pengetahuan tentang lokasi “umum” para pemeran dalam
peristiwa berbahasa itu sudah cukup untuk memahami kota mana dan waktu kapan
yang dimaksud dalam ujaran berikut:
a. “Saya tidak dapat pulang tahun ini.”
b. “Kota ini amat ramai.”
Melihat
paparan dan contoh-contoh yang diberikan Nababan, tampaknya segala sesuatu yang
berhubungan deiksis kinesik dan simbolik ini serupa dengan deiksis wacana,
khususnya deiksis eksofora. Artinya, jika eksofora itu dirumuskan sebagai
deiksis yang acuannya di luar tuturan atau ujaran, dan “baru bisa kita pahami
jika kita melihat konteks tempat ujaran itu berlangsung”, maka dua contoh untuk
deiksis kinesik di atas dapat juga dipakai untuk mencontoh deiksis eksofora.
Dalam contoh tadi, deiksis persona dia dan kau mengacu kepada persona-persona
di luar ujaran atau teks. Dalam rumusan deiksis kinesik dikatakan: “hanya dapat
dipahami dengan pengamatan secara langsung” gerak anggota badan. Jadi, kinesik
atau luar-tuturan tampaknya tergantung kepada titik pandang mana yang disasar.
Jika titik pandang kita kepada teks dan konteks, kita berbicara tentang deiksis
luar-tuturan. Jika titik pandang kita pada pengamatan langsung dan tidak
langsung pada gerak anggota badan, maka kita berbicara tentang kinesik.
Contoh-contoh untuk dieksis simbolik pun dapat dipakai untuk contoh deiksis luar-tuturan
karena yang diacu oleh kota ini dan
tahun ini sebenarnya tidak ada di dalam teks melainkan di luarnya. Kita memang
bisa mengetahui apa yang diacu kota ini kalau kita berada di kota ketika ujaran
itu terucapkan; dan tahun ini jelas mengacu kepada tahun ketika ujaran itu
terucapkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti
“menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata lain informasi kontekstual secara
leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat,
ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya he, here, now.
Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna
ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses atau kala juga merupakan jenis
deiksis. Misalnya then hanya dapat di rujuk dari situasinya.
Deiksis ada enam macam, yaitu deiksis persona, dieksis
penunjuk, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial
(Nababan, 1987: 40). Bentuk dieksis
dapat digolongkan menjadi 3 yaitu dieksis morfem, deiksis kata, dan deiksis
frasa. Para penganut aliran pragmatik yang
lebih “modern” mengemukakan adanya
pemillihan lain, yakni deiksis luar-tuturan atau luar-ujaran ( atau eksofora )
dan deiksis dalam-tuturan atau dalam ujaran ( atau endofora ). Nababan,
menyebut penjenisan lain, yakni deiksis sejati dan taksejati, dan deiksis
kinesik dan simbolik
3.2
SARAN
Makalah yang penulis buat tentunya masih jauh dari
yang namanya “sempurna”. Ini disebabkan oleh keterbatasan penulis, baik dalam
hal pengetahuan dan pengalaman. Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca
mencari sumber – sumber lain yang berkaitan dengan Pragmatik khusunya tentang
kajian Deiksis sehingga dapat menambah pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Karena ada pepatah yang mengatakan, “Semakin ilmu itu digali, maka
semakin banyak yang tidak kita ketahui”. Jadikan hal tersebut sebagai pemacu Anda
untuk terus maju dan meraih sukses.