Rabu, 11 Juni 2014

Sikap Bahasa (Language Attitude)



1.     Pengertian Sikap
Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Setidak-tidaknya terdapat dua pandangan yang saling berkompetensi dalam kaitannya dengan sikap. Pandangan pertama diikuti oleh kaum mentalis yang memandang sikap sebagai suatu keadaan kesiapan mental, suatu variable antara yang menjembatani suatu stimulus itu. Pandangan itu di antaranya terdapat pada Agheyesi dan Fishman (1970; 138); Cooper dan Fishman (1974:7). Sikap perorangan menyiapkannya untuk bereaksi dengan cara tertentu dan dalam wujud tertentu terhadap stimulus tertentu.
Sikap itu juga bisa diartikan sebagai fenomena kejiwaan yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun menurut banyak penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap bathiniah atau yang terdapat dalam bathin selalu keluar dalam bentuk perilaku yang sama ada dalam bathin. Banyak faktor yang mempengaruhi hubungan sikap bathin dan perilaku lahir. Oleh karena itu, sikap tidak dapat diamati secara empiris. Namun menurut kebiasaan jika tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, sikap yang berada di dalam bathin itu dapat diduga dari tindakan atau perilaku lahir.
Banyak penelitian telah dilakukan terhadap sikap, terutama dalam kaitannya dengan psikologi sosial. Triandis (1971:2-4) berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman  yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua obyek dan keadaan yang menyangkut sikap tersebut. Sedangkan Lambert (1967;91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif (pengetahuan), komponen afektif (penilaian), dan komponen konatif (putusan akhir). Apabila ketiga komponen itu sejalan maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukan sikap, tetapi apabila tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukan sikap. Edward (1957:7) mengatakan bahwa sikap hanyalah salah satu faktor yang tidak dominan dalam menentukan perilaku. Oppenheim (1976:71-75) dengan lebih tegas menyatakan bahwa kita belum tentu dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sedangkan Sugar (1967) berdasarkan penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat buah faktor utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi.

2.     Hubungan antara Sikap dengan Perbuatan
Betapapun terdapat hubungan antara sikap dan perbuatan, namun hubungan keduanya tidak bersifat langsung secara sistematis (Azwar, 1988 : 12). Maksudnya, suatu bentuk perilaku tertentu dalam kaitannya dengan suatu objek pastilah mencerminkan sikap tertentu, tetapi perilaku itu tidak selalu dijadikan indikaor sikap sesungguhnya.
            Hubungan antara sikap dengan perilaku telah agak banyak diteliti. Di antaranya Oppeheim (1976:75-76) yang menyatakan, kita belum tentu dapat meramaikan perbuatan atas dasar sikap. Sikap tidak dengan sendirinya dapat disimpulkan secara betul dari perbuatan, dan perbuatan tidak dengan sendirinya merupakan pernyataan sikap yang lebih terpercaya daripada variable verbal. Edwards menyatakan perbuatan dan sikap tidak memiliki hubungan langsung. Sikap sebagai faktor yang mempengaruhi atau menentukan perbuatan mungkin merupakan salah satu faktor saja yang paling dominan. Dari uraian tersebut, kita mengetahui, tidak terdapat hubungan langsung yang bersifat langsung antara perbuatan dan sikap. Betapapun perilaku atau perbuatan tidak memperlihatkan hubungan secara langsung dengan sikap, atau betapapun  perilaku tidak sepenuhnya mencerminkan sikap, namun kebanyakan ahli pengkajian sikap menyatakan, sikap seseorang mengena sesuatu mampu memberikan peramalan terhadap perilaku atau tingkah laku seseorang terhadap sesuatu dalam kaitannya dengan sikap tersebut.


3.     Terbentuknya sikap
Sikap dan kebiasaan mempunyai hubungan yang erat. Keduanya dibentuk melalui pengalaman sepanjang sejarah perkembangan hidup seseorang dalam kaitannya dengan objek tertentu. Namun demikian, sikap berbeda dari kebiasaan tingkah laku karena kebiasaan cenderung terjadi atau berlangsung secara otomatis. Misalnya, kebiasaan seseorang bangun tidur gosok gigi, mandi, makan pagi, terus berangkap ke kantor atau sekolah. Kebiasaan cenderung terjadi sesuatu mekanistis. Sekalian demikian, ada benarnya bahwa adanya sikap terhadap obyek tertentu dinyatakan atau terwujudkan melalui kebiasaan bertingkah laku tertentu.
Sikap bukan sesuatu yang menjadi sesaat, melainkan sesuatu yang berlangsung dalan jangka relative lama. Sikap adalah jaringan keyakinan dan nilai yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk berbuat atau bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu yang disenanginya. Sikap mencakup aspek kognisi, aspek afektif, dan konatif. Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan strereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif itu pada suatu segi dapat disamakan dengan pandangan atau opini terutama kalau menyangkut masalah isyu atau problem yang kontraversial. Persepsi sebagai salah satu unsure dari komponen kognitif sudah pasti tidak terbentul secara sesaat. Komponen afektif merupakan perasaaan individu terhadap obyek sikap  dan perasaan yang menyengkut masalah emosional. Komponen perilaku tak hanya terwujud dalam perilaku yang teramati secara langsung, tetapi juga berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan secara langsung. Sikap seseorang terbentuk oleh faktor-faktor yang datang dari luar (faktor eksternal) dan juga oleh faktor-faktor yang datang dari dalam (Faktor internal). Faktor-faktor internal itu di antaranya : pengalaman pribadi, daya pilah, daya seleksi, hasil pendidikan keluarga, sedangkan faktor-faktor eksternal meliputi lembaga pendidikan formal, orang lain yang dianggap sangat berpengaruh, kontak budaya lain, media massa, lapangan pekerjaaan.

4.     Pengertian Sikap Bahasa
Anderson (1974:37) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan, (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini dapat menyangkut keyakinan dan dan kognisi mengenai bahasa. Maka dengan demikian, menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk berinteraksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197).Sikap positif terhadap bahasa tertentu akan mempertinggi keberhasilan belajar bahasa itu. Sikap positif itu merupakan kontributor utama bagi keberhasilan belajar bahasa (Macmara dalam Shuy dan Fasold, 1973:36). Ditmar mengemukakan, pengertian sikap bahasa ditandai oleh sejumlah ciri yang antara lain meliputi : pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan-perbedaan dialektikal dan problema yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara individu. Dalam masyarakat multilingual, sikap bahasa seseorang yang ditentukan oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah topik pembicaraan (pokok masalah yang dibicarakan), kelas sosial masyarakat pemakai, kelompok umur, jenis kelamin, situasi pemakaian. Demikianlah, seseorang orang yang termasuk kelompok etnik Jawa tetapi sekaligus juga pemakai bahasa Indonesia, termasuk golongan dewasa atau tua, tentang upacara pengantin khas Jawa, ia akan cenderung memilih Bahasa Jawa yang baku daripada bahasa Indonesia. Hal itu menunjukkan adanya sikap positif terhadap bahasa yang dipilihnya. Lebih-lebih dia termasuk kelompok etnik jawa yang termasuk kelas sosial tinggi, tinggal di Jakarta di lingkungan masyarakat Indonesia golongan elite,, dia akan cenderung memilih bahasa Indonesia sekalipun tentang upacara perkawinan. Dalam hal ini ikatan primordial dengan budaya etnik Jawa barangkali sudah lentur sehingga sikapnya terhadap bahasa Jawa juga tidak positif lagi. Sikap bahasa positif juga ditunjukkan oleh seseorang yang cenderung memakai suatu bahasa secara santun, cermat, terpelihara, jelas baik mengenai ketepatan pilihan kata maupun kebakauan kaidah gramatiknya serta kejelasan, keruntutan jalan pikirannya. Sikap positif itu bersangkut paut dengan masalah distribusi perbendaharaan bahasa. Sikap positif juga tampak pada kebakuan pemakaian bahasa yang mengatasi dialek-dialek.
Terdapat tiga ciri sikap bahasa yang dirumuskan oleh Garvin dan Mathiot (1968) dan telah menunjukan kenyataan terhadap bahasa Indonesia dewasa ini. Ketiga ciri sikap bahasa yang dikemukakan Garvin dan Mathiot itu adalah sebagai berikut.
  1. Kesetiaan bahasa yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain;
  2. Kebanggaan bahasa yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang indentitas dan kesatuan masyarakat;
  3. Kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa.

Ketiga ciri tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya, apabila ketiga ciri sikap bahasa itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau sekelompok orang anggota masyarakat tutur dan tiadanya gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah dan bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap suatu bahasa bisa terjadi bila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya sendiri dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Banyak faktor yang bisa menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri, dan menumbuhkan pada bahasa lain, yaitu faktor politik, ras, etnis, dan gengsi.
            Sikap bahasa negatif akan menyebabkan mereka menjadi acuh terhadap pembinaan dan pelestarian bahasa, mereka menjadi tidak bangga lagi memakai bahasa itu sebagai penanda jati diri, bahkan mereka merasa malu memakai bahasa  itu sehingga memperlemah pemertahanan bahasa. Dalam keadaan demikian orang menjadi mudah beralih atau berpindah bahasa. Biasanya dalam suatu bahasa masyarakat bilingual atau multilingual terjadi beralih bahasa kepada yang lebih bergengsi, yang lebih menjamin kemudahan mencari pekerjaan atau kemudahan, yang lebih menjamin memperoleh kesempatan di sektor modern dan semacamnya. Masalah pemertahanan bahasa adalah masalah khas dalam masyarakat multilingual (Fasold : 1984 : 213). Berpindah bahasa sebenarnya merupakan suatu indikator kematian bahasa karena orang itu mulai meninggalkan bahasanya. Proses itu sudah barang tentu tidak secara total dan secara drastis. Gejala yang secara umum dijumpai adalah lapisan/kelompok muda lebih mudah terangsang untuk memakai sesuatu yang baru, yang mencerminkan kedinamisan (Fasold, 1984 : 215).
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal yaitu:
  1. Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
  2. Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.
Dari pembicaraan mengenai sikap bahasa di atas dapat dilihat bahwa sikap bahasa juga bisa memengaruhi seseorang untuk menggunakan sesuatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual. Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.

Kajian Pragmatik (Deiksis)

BAB  I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Manusia dilahirkan dalam dunia sosial di mana mereka harus bergaul dengan manusia lain di sekitarnya. Sejak awal manusia sudah bergaul dengan lingkungan sosial terdekat, meskipun masih berbentuk satu arah-orang tua berbicara, dan bayi hanya mendengarkan saja. Dalam perkembangan hidup selanjutnya, manusia mulai memperoleh bahasa setapak demi setapak. Pada saat yang sama, manusia juga dibawa ke dalam kehidupan sosial di mana terdapat rambu-rambu perilaku kehidupan. Rambu-rambu ini diperlukan karena meskipun manusia itu dilahirkan bebas, tetap saja mereka harus hidup bermasyarakat. Ini berarti bahwa manusia harus pula menguasai norma-norma sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagian dari norma-norma ini tertanam dalam bahasa sehinngga kompetensi anak tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use). Dengan kata lain, anak harus pula menguasai kemampuan pragmatik.
Suatu informasi pada dasarnya mensyaratkan kecukupan (sufficient) dalam struktur internal informasi itu sendiri sehingga orang yang diajak komunikasi dapat memahami pesan dengan tepat. Persoalan akan muncul, bagaimana jika informasi itu hanya dapat dipahami dari konteksnya. Deiksis adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan keniscayaan hadirnya acuan ini dalam suatu informasi. Menariknya, meski deiksis ini erat kaitannya dengan konteks berbahasa, namun tidak masuk dalam kajian pragmatik karena sifatnya yang teramat penting dalam memahami makna semantik. Dengan kata lain deiksis merupakan ikhtiar pragmatik untuk memahami makna semantik.

1.2  Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian deiksis?
2.     Apa saja jenis-jenis deiksis?
3.     Apa saja bentuk-bentuk deiksis?
4.     Bagaimana pembalikan deiksis?
5.     Apa saja penjenisan lain dari deiksis?

1.3  Tujuan
1.          Untuk mengetahui pengertian deiksis.
2                 Untuk mengetahui jenis-jenis deiksis.
3                 Untuk mengetahui bentuk-bentuk deiksis.
4                 Untuk mengetahui pembalikan deiksis.
5                 Untuk mengetahui penjenisan lain dari deiksis.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 PENGERTIAN DEIKSIS

Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis. Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya dalam kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat di telusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang di sebut deiksis.
Dalam KBBI deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa.
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).
Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan (1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).
Pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).
Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiksis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur.

2.3 JENIS DEIKSIS
            Dalam kajian pragmatik dikenal adanya enam jenis deiksis yaitu deiksis persona, (orang), penunjuk, tempat, waktu, wacana, dan sosial. Berikut akan dipaparkan keenam deiksis tersebut.
(1)  Deiksis Persona
Deiksis persona secara langsung diwujudkan dalam kategori gramatikal tentang persona (orang), menjadi persona 1, persona 2 dan persona 3. Berbeda dengan persona pertama dan kedua, persona 3 tidak berhubungan langsung dengan peran partisipan apapun dalam tiap peristiwa tutur. Dalam deiksis persona yang menjadi kriteria adalah peran partisipan yaitu peran sebagai penutur (orang ke-1), sebagai pendengar (orang ke-2), dan “yang dibicarakan” menjadi orang ke-3. Cara yang lazim untuk mengkodekan deiksis persona adalah dengan memakai pronominal (kata ganti orang), seperti : saya, aku, kamu, engkau, ia, dia, beliau, kami, kita, mereka, atau memakai nama diri seperti : saudara, bapak, ibu, tuan, dsb. (untuk orang ke-2). Selain itu, deiksis persona juga mencakupi bentuk-bentuk lain dari pronominal tersebut, seperti : ku-, -ku, -mu, -nya, dan kau.
(2)  Deiksis Penunjuk
Dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya demonstratif (kata ganti penunjuk). Kata ini digunakan untuk menunjuk sesuatu yang dekat dengan penutur, dan itu digunakan untuk menunjuk sesuatu yang jauh dari penutur. “Sesuatu” itu bukan hanya benda atau barang melainkan juga keadaan, peristiwa, bahkan waktu. Berikut contoh-contohnya :
1. Masalah ini harus kita selesaikan segera.
2. Ketika peristiwa itu terjadi, saya masih kecil.
3. Saat ini saya belum bisa ngomong.
 (3) Deiksis Tempat
            Deiksis tempat dan deiksis ruang berkaitan dengan spesifikasi tempat relatif ke titik labuh dalam peristiwa tutur. Pentingnya spesifikasi tempat ini tampak pada kenyataan bahwa ada dua cara mendasar  dalam mengacu objek, yaitu dengan mendeskripsikan atau menyebut objek atau dengan menempatkannya di suatu lokasi. Lokasi itu dapat dispesifikasikan relatif  kepada objek atau titik acuan yang pasti. Misalnya:
a.      Stasiun kereta api itu terletak 200 meter dari gereja katedral
b.     Bedugul terletak 1.500 meter di atas permukaan laut
Secara deiksis keduanya dapat dispesifikasikan relatif kepada lokasi partisipan pada saat berbicara, seperti dalam :
a.      Stasiun itu 200 meter dari sini
b.     Bedugul itu sama dinginnya dengan di sini
Deiksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang (tempat) dipandang dari lokasi pemeran dalam peristiwa tutur. Deiksis tempat berhubungan dengan deiksis penunjuk “ini  dan  itu”. Di dalam menganalisis kalimat, semua bagian kalimat yang mengacu tempat disebut juga adverbial, dan kata-kata begini biasanya didahului dengan kata di, dalam atau pada, membentuk frase depan. Misalnya, di rumah, pada bangku, dalam kamar. Frase-frase semacam itu tampaknya tidak digolongkan ke dalam  deiksis karena acuannya tetap, karena kata rumah, kamar, bangku,  kapan pun dan dimana pun, mempunyai acuan yang tetap ; berbeda dengan sini  dan sana.  Hanya perlu diingat bahwa kedua deiksis ini biasa didahului dengan di dan ke, menjadi di sini dan di sana; ke sini dan ke sana. Masih bisa dipertanyakan adalah kata ke mana dan di mana, dalam kalimat seperti :
1.     Ke mana dia pergi ?
2.     Entah, saya taruh di mana pensil tadi
3.     Saya tak tahu dia ke mana dan di mana
Kata-kata tersebut tergolong keterangan tempat ; acuannya bukan hanya “tidak tetap” tetapi bahkan “tidak jelas”. Dengan pengertian acuan yang “tidak jelas” itu barangkali kata-kata ini dapat digolongkan deiksis tempat, karena “tidak jelas” berarti “bisa di mana-mana”, di sembarang tempat, dan tidak pasti.
(4) Deiksis Waktu
            Deiksis ini, yang di dalam  tata bahasa disebut adverbial atau keteangan waktu, adalah pengungkapan kepada titik atau jarak waktu dipandang dari saat suatu ujaran terjadi, atau pada saat seorang penutur berujar. Waktu ketika ujaran terjadi diungkapkan dengan sekarang  atau  saat ini.  Untuk waktu-waktu berikutnya terdapat kata-kata besok, lusa, nanti, kelak; untuk waktu “sebelum” waktu terjadinya ad kita menemukan tadi, kemarin, minggu lalu, ketika itu, dahulu. Dasar untuk menghitung dan mengukur waktu dalam banyak bahasa tampak bersifat siklus alami dan nyata, aitu siklus hari dan malam (dari pagi sampai malam hari), hari (dalam satu minggu dengan nama-namanya), bulan (berikut nama-namanya), musim (di Indonesia ada musim hujan dan musim kemarau), dan tahun. Satu-satuan waktu itu dapat digunakan baik sebagai pengukur (sekian hari, sekian bulan, sekian tahun) atau sebagai kalender untuk menempatkan peristiwa tutur dalam waktu pasti (jam ini hari ini bulan ini tahun ini).
            Dalam hal deiksis waktu patut dicatat pentingnya membedakan saat ujaran (atau saat menullis) atau waktu pengenkodean (coding time = CT) dan waktu penerimaan (receiving time = RT). Sebagaimana sudah disinggung ketika kita berbicara tentang situasi kanonik, RT dapat diasumsikan identik dengan CT karena situasinya adalah situasi tatap muka. Jika tidak dalam situasi tatap muka, kita bisa menemui kesulitan. Kita lihat, misalnya, bagaimana deksis waktu berinteraksi dengan ukuran-kultural seperti kata hari ini, kemarin dan besok. Kita dapat mengatakan, misalnya, bahwa  hari ini  berarti ‘rentang waktu termasuk CT’, dan kemarin berarti ‘rentan hari sebelum rentang waktu termasuk CT/, dst. Tetapi bisa jadi kemarin mengacu kepada dua acuan yaitu (i) mengacu kepada rentang waktu yang utuh seperti pada kallimat Kemarin adalah hari Rabu; atau (ii) mengacu kepada sebagian dari rentang waktu itu: Kemarin dia memanggang ikan.  Waktu juga tidak jelas jika kita menerima “janji begini:  Sampai ketemu hari Minggu ya. Dapat dipertanyakan, Minggu  itu mengacu ke hari Minggu depan, atau Minggu-minggu lain di masa depan.
            Aspek lain yang menunjukkan interaksi antara perhitungan menurut kalender dengan deiksis waktu tampak ketika kita mempertimbangkan keterangan waktu sepaerti Selasa lalu, tahun depan, bulan berikutnya, sore nanti, mala ini. Semua itu merupakan gabungan antara “keterangan” deiksis, yaitu lalu,depan, berikutnya, nanti ini, dengan nama nondeiksis, atau kata-pengukur yaitu Selasa, tahun, bulan, sore, dan malam.
            Sebagaimana batasan deiksis, yang mempunyai referen yang tidak tetap, deiksis waktu pun mengacu kepada rentang waktu yang dapat berubah-ubah. Perhatikan beberapa contoh berikut: kata sekarang mengacu kepada (1) saat penutur berbicara sampai dengan (5) waktu yang sangat panjang tetappi tidak jelas batasnya.
1.     Karena kamu sudah ngomong, maka sekarang saya ganti gomong.
2.     Sekarang hari Minggu, besok…senin.
3.     Janjinya Minggu kedua Januari, sekarang sudah Minggu ketiga.
4.     Seharusnya tahun 2002, ya… sekarang, dia pensiun.
5.     Sekarang kan zaman edan, jadi semua orang pun edan.


(5) Deiksis Wacana
Berbeda dengan keempat deiksis yang sudah disebut, yang mengacu kepada referen tertentu meskipun referen itu berubah-ubah, deiksis wacana harus dirumuskan dengan lebih dahulu melihatnya di dalam wacana tertentu. Deiksis  di sini, misalnya, dapat dikatakan mengacu kepada tempat yang dekat dengan penutur. Deiksis wacana, atau deiksis teks, tidak dapat dikatakan dengan cara begitu. Deiksis wacana adalah mengacu kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diperankan (sebelumnya) dan atau yang sedang dikembangkan (yang akan terjadi). Deiksis wacana berhubungan dengan penggunaan ungkapan di dalam suatu ujaran untuk mengacu kepada suatu bagian wacana yang mengandung ujaran itu (termasuk ujaran itu sendiri). Kita juga dapat memasukkan ke dalam deiksis wacana sejumlah cara lain di mana sebuah ujaran mensinyalkan hubungan dengan teks yang mengelilinginya. Misalnya, karena wacana itu mengungkapkan waktu, maka wajar saja jika kata-kata deiksis waktu dapat dipakai untuk mengacu kapada bagian-bagian wacana tersebut. Begitulah, jika mempunyai deiksis waktu seperti Minggu, bulan berikut, awal tahun, maka untuk deiksis wacana kita dapat juga memakai bentuk akhir paragraph, bab berikut, awal paragraph, dsb. Dalam bahasa Indonesia kata-kata demikian biasanya didahului dengan preposisi seperti di, pada, dalam.
Contoh:
            Hal itu sudah dikemukakan pada akhir bab.
            Perhatikan awal paragraph ketiga.
            Bab berikut membahas tentang rangkum buku.
Dua contoh pertama menunjukkan bahwa deiksis wacana mengacu kepada bagian wacana yang sudah disebut atau yang sudah ada, sedangkan pada contoh terakhir deiksis wacana mengacu kepada bagian wacana yang ada di belakangnya.
            Kita juga mempunyai kata deiksis tempat yang dapat digunakan terutama demonsratif ini, itu,di situ,begini, begitu, demikian yang dapat mengacu kepada bagian tertentu dari wacana. Contoh:
            Saya percaya Anda belum pernah mendengarkan cerita ini.
            Itu cerita paling lucu yang pernah saya dengar.
            Di sini sudah tampak keraguan penulis.

 (6) Deiksis Sosial
Deiksis sosial berhubungan dengan aspek-asek kalimat yang mencerminkan kenyataan-kenyataan tertentu tentang situasi sosial ketika tindak tutur terjadi. Deiksis sosial menunjukkan perbedaan-perbedaan sosial  (perbedaan yang disebabkan oleh factor-faktor social seperti jenis kelamin, usia, kedudukan didalam masyarakat, pendidikan, pekerjaan, dsb.  yang ada para partisipan dalam sebuah komunikasi verbal yang nyata, terutama yang berhubungan dengan segi hubungan peran antara penutur dan petutur, atau penutur dengan topik atau acuan lainnya. Dapat dikatan bahwa deiksis social itu adalah deiksis yang disamping  mengacu keadaan referen tertentu, juga mengandung  konotasi social tertentu, khusus nyaa para deiksis persona. Dalam bahasa Indonesia hal itu tampak, misalnya dalam penggunaan kata sapaan kamu, kau, anda, saudara, Tuan, Bapak, Ibu, dsb. Dan deiksis persona bagii penutur seperti saya, aku, hamba, patik, atau enggunaan nama diri. Dalam bahasa yang mengenal tingkatan-tingkatan (unda usuk) bahasa, seperti bahasa jawa, perbedaan itu diwujudkaan dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Beberapa contoh ;
1)     Majikan : “ Inem “
Pembantu : “ saya Tuan “
2)     ( dalam bahasa jawa ) Majikan : “Inem “
Pembantu  :  “ Dalem, ndara “
Penggunaan saya ( dalem ) dan Tuan ( ndara ) menunjukkan hubungan social antara dua orang yang kedudukannya tidak sejajar (tidak seemitris), seperti hubungan antara  majikan dan pembantunya..
Jadi, sebenarnya ada banyak aspek pengguna bahasa yang bergantung kepada hubungan sosial antara penutur-penutur itu, tetapi penggunaan ini hanya relevan bagi deiksis sosial yang sudah digramatikalkan, seperti pronominal yang mengandung rasa “sopan “ dan kata sapa. Harus ada pula diakui adanya banyak manifeestasi dari deiksisis social dikodekan dalam banyak bahasa, yaitu relasional (relation) dan mutlak (absolute) yang relasion itu berhubungan dengan relasi-relasi antara :
(a)   Penutur dan acuan (misalnya honorifiks acuan)
(b)  Penutur dan petutur (misalnya honorifiks petutur)
(c)   Penutur dan pendengar/penonton yang bukan petutur (misalnya honorifiks pendengar)
(d)  Penutur dan latar (misalnya tingkat-tingkat formalitas)
Ragam hubungan itu menjadi amat rumit dalam bahasa-bahasa yang mengenal tingkat-tingkat tutur, atau unda usuk (bahasa jawa) atau sor- singgih (bahasa bali)

2.3 BENTUK DEIKSIS
Tentang bentuk deiksis biasanya dihubungkan dengan jumlah pendukungnya. Dari situ dapat dilihat adanya golongan deiksis yang berikut.
1.     Deiksis Morfem, yakni deiksis yang tidak berbentuk kata sebagai morfem bebas, melainkan berbentuk morfem terikat, seperti awalan atau akhiran. Misalnya, ku- (diikuti verba), -ku, -mu,-nya (seperti dalam miliku, memandangmu, di depannya).
2.     Deiksis kata, yakni deiksis yang hanya terdiri dari satu kata, seperti : ini, sana, aku, begitu,ia, sekarang, kelak, Tuan, hamba.
3.     Deiksis frase, yakni deiksis yang terdiri dari dua kata atau lebih, misalnya : di sini, esok pagi, tuan hamba, paduka tuan, pada waktu itu, di kelak kemudian hari.
Penggolongan deiksis sebagaimana dikemukakan di atas bukanlah satu-satunya model penggolongan. Para penganut aliran pragmatik yang lebih  “modern” mengemukakan adanya pemillihan lain, yakni deiksis luar-tuturan atau luar-ujaran atau luar-ujaran ( atau eksofora ) dan deiksis dalam-tuturan atau dalam ujaran ( atau endofora ).
1 Deiksis Luar-tuturan
Deiksis ini mencakupi empat deiksis yang sudah disebut di atas, yakni deiksis persona, penunjuk, tempat, dan waktu. Yang dimaksud dengan deiksis luar-tuturan adalah deiksis yang acuannya di luar teks verbal, di luar apa yang diujarkan atau dituturkan, berada pada konteks situasi. Teks adalah sepotong atau sepenggal bahasa lisan atau tertulis ( Richards dkk,..1985 ). Teks dapat dilihat dari segi strukturnya ( misalnya, berupa kalimat atau cakapan ) dan atau fungsinya ( misalnya untuk memperingatkan, menyuruh, bertanya, dsb. ) suatu pemahaman tuntas terhadap sebuah teks sering tidak dimungkinkan tanpa melihat konteks tempat terjadinya teks itu. sebuah teks dapat terdiri dari dari satu kata misalnya, “ masuk “ dan “ keluar “ pada pelataran parker; “BERBAHAYA “ sebagai peringatan yang tertempel pada gardu listrik, atau teriakan “ Api!” ketika kebakaran; atau dapat sangat panjang.
            Ceramah, khotbah, novel, perdebatan. Teks-teks sebagaimana dicontohkan di atas sering disebut wacana. Teks itu bukan merupakan satuan gramatikal ( sebagaimana morfem, frase, klausa, kalimat ), satuan yang lebih banyak diatur oleh kaidah gramatika, melainkan satuan semantik.
Contoh anaphora :
Pak karta itu orang baik, istrinya juga
Dia dan istrinya adalah orang baik semua
Sekarang senin, jadi lusa adalah hari Rabu.
Kita lihat bahwa deiksis- nya yang ada dalam ujaran ( tuturan ) mengacu kepada dia ( pak Karta ) yang juga berada di dalam ujaran atau teks yang sama. Deiksis waktu, lusa, juga mengacu kepada Rabu, yang ada dalam teks ujaran.

2. Deiksis dalam tuturan
Deiksis ini acuannya berada dalam teks atau tuturan. Menurut  Nababan mengenai deiksis wacana, yaitu yang mencakupi anaphora dan katafora. Berbeda dengan Nababan, Kaswanti Purwo mengatakan bahwa deiksis dalam tuturan dibagi dua yaitu anaphora dan katafora. Jadi, deiksis dalam tuturan serupa dengan deiksis wacana. Deiksis anaphora mengacu kepada sesuatu yang disebut; didalam teks tertulis deiksis ini tampak mengacu kesebelah kiri atau kebagian atas. Sebaliknya, deiksis katafora mengacu ke acuan ke sebelah kanan atau di bawahnya.
Contoh :
1.     “masalah ini diangap selesai, begitu putusannya”
2.     “ begini saja : ambil depositomu dan bayar utangmu !”
3.     “hallo, selamat sore, saya, Paijo, boleh saya bicara dengan Asiah ?”
Deiksis begitu dan begini tidak mengacu kepada satu kata yang mewakili benda atau peristiwa, melainkan kepada “seluruh ujaran” sebelum atau sesudahnya. Deiksis ini bukan deiksis persona, tempat, waktu, karena itu perlu dicarikan istilah sendiri : deiksis petunjuk.
Pada contoh (3) kita berhadapan dengan apa yang di dalam gramatika disebut aposisi, yaitu dua unsur kalimat (biasanya nomina) yang sederajat dan mempunyai acuan yang sama atau setidak-tidaknya , salah satu unsur mancakupi acuan unsur yang lain. Dalam contoh di atas saya dan Paijo kedudukannya dalam kalimat tersebut sederajat dan mengacu kepada orang yang sama, dalam hal ini adalah penutur. Dalam hal ini kita dapat mengatakan hal seperti ini: saya Paijo, tetapi Paijo belum tentu saya, karena masih banyak Paijo-paijo yang lainnya. Padanannya : mawar itu pasti bunga tetapi bunga belum tentu mawar.

2.4. PEMBALIKAN DEIKSIS
Saat ini kita ketahui bahwa deiksis itu bersifat egosentris, berpusat kepada “saya” yaitu penutur. Semua pengacuan atau penunjukan bertitik labuh kepada penutur. Deiksis penunjuk ini mengacu kepada sesuatu yang dekat dengan penutur, itu untuk sesuatu yang jauh dari penutur; sekarang mengacu kepada waktu ketika penutur berbicara; sini mengacu kepada tempat yang dekat dengan penutur ketika berbicara.
            Namun, ada kenyataan bahwa pengacuan atau penunjukan tersebut tidak bertitik labuh pada penutur, tidak bersifat egosentris. Kaswanti Purwo mengatakan hal itu sebagai pembalikan deiksis. Pembalikan seperti ini dapat terjadi pada deiksis luar-tuturan atau dalam tuturan. Pembalikan deiksis luar-tuturan tampak pada percakapan lewat telepon dan dalam surat (khususnya surat pribadi). Perhatikan percakapan telepon berikut:
            (1)       Ani      : “Halo……. Ade, ya?”
                        Ade     : “ He-eh. Gimana, An?”
                        Ani      : “Baik. Gimana kamu di sini?”
                        Ade     : “Baik juga. Cuma hujan terus. Di sini hujan juga ya?”
            Dalam wacana telepon di atas kata di sini yang diujarkan Ani mengacu kepada tempat Ade, petutur atau pendengar, dan bukan tempat Ani, penutur. Sebaliknya, di sini yang diujarkan Ade mengacu kepada tempat Ani, yang bukan penutur, melainkan petutur atau pendengar. Jadi, titik labuh itu dibalik dari penutur ke petutur.
            Hal serupa juga terjadi pada surat berikut:
(3)  Ade,
Surat Ade udah Ani terima. Trims. Gimana kabarmu di sini? Udah ujan?
            Kalo udah, anget dong; nggak kepanesan.    
            Ade nanya pacar Ani? Wah, Ani udah di–PHK lama sekali.           

            Surat kedua karib ini memakai ragam santai dan akrab. Dalam surat tadi, “di sini“mengacu kepada tempat penerima surat, pembaca yang sepadan dengan petutur, bukan kepada penulis,yang sepadan dengan penutur.
            Di samping kedua hal tersebut, ada pula kenyataan bahwa di dalam percakapan sering terjadi pengulangan ujaran penutur, bukan oleh penuturnya sendiri melainkan oleh pendengar atau petuturnya. Dalam hal seperti itu dapat terjadi pembalikan deiksis juga, yang biasa tutur berbalik (echo utterance) atau penggunaan tutur berkutip (quotional use).
Perhatikan percakapan berikut:
            A : “ Jangan paksa saya membunuh. Tidak. Saya tak bisa.”
            B : “ Apa katamu? “Saya tak bisa?”Saya tak bisa? Harus bisa!”                             
            Kita lihat deiksis saya pada A mengacu kepada dirinya sendiri. Juga pada bagian ujaran yang berbunyi, “Saya tak bisa.” Namun, pada B, ujaran si A tadi diulang atau “dikutip” oleh B (dan di dalam tulisan pun ujarantersebut diberi tanda kutip ‘----‘), sehingga deiksis saya yang diujarkan oleh B (penutur) sebenarnya mengacu kepada A yang pada saat ujaran itu dikutip,  bertindak sebagai pendengar, bukan penutur. Jadi, ujaran B itu berbalik kepada A dalam wujud pengguna “kutipan” bagian ujaran yang utuh dan asli, dan deiksis persona ke-1 (saya) dipakai untuk “pengganti” persona ke-2 (kamu, kau).


2.5. PENJENISAN LAIN DARI DEIKSIS
             Di samping penjenisan deiksis menjadi enam sebagaimana yang dikemukakan di depan, para pakar, antara lain Nababan, juga menyebut penjenisan lain, yakni deiksis sejati dan taksejati, dan deiksis kinesik dan simbolik.
            Deiksis sejati adalah kata atau frase yang maknanya dapat diterangkan seluruhnya dengan konsep deiksis tanpa mengaitkannya, misalnya dengan kondisi social.  Deiksis sejati termasuk ke dalam kata-kata yang tergolong deiksis persona, waktu, penunjuk, dan tempat: saya, dia, di sini, itu, sekarang, dsb. Kata-kata tersebutlah yang selalu dipakai sebagai kata pengacu.
            Deiksis taksejati adalah kata atau frase yang maknanya hanya sebagian berupa deiksis dan sebagian fungsinya adalah nondeiksis. Dapat pula dikatakan, deiksis ini di samping mempunyai fungsi sebagai deiksis (sebagai pengacu acuan yang berubah-ubah) juga sebagai nondeiksis (mempunyai makna lain yang tidak bersifat mengacu).
            Deiksis kinesik dan simbolik dikemukakan oleh FILLMORE (1971), yang masing-masing disebutkan gestural deictic usage (penggunaan deiksis dengan gerak anggota tubuh) dan simbolik deictic usage (penggunaan deiksis dengan lambang). Kata atau frase yag dipakai secara kinesik dapat dipahami hanya dengan pengamatan langsung terhadap gerak anggota badan (gesture), seperti acungan jari telunjuk, lambaian tangan, anggukan kepala, dalam peristiwa berbahasa melalui pendengaran, penglihatan, dan rabaan.
Misalnya,
a. “Bukan dia guru saya, tetapi dia. Dia adalah Bapak saya.”
b. “ Kau boleh pergi, tetapi kau  harus tinggal di sini.”
Dalam kalimat (1) kita akan tahu siapa yang dimaksud dengan dia jika kita melihat langsung siapa yang ditunjuk oleh penutur. Demikian juga kau dalam kalimat (2).
            Sebaliknya, penggunaan kata secara simbolis hanya memerlukan pengetahuan tentang faktor tempat dan waktu (kadang-kadang factor social juga) dari peristiwa berbahasa itu untuk dapat memahami siapa dan apa yang dimaksud dalam kalimat itu. Misalnya, hanya dengan pengetahuan tentang lokasi “umum” para pemeran dalam peristiwa berbahasa itu sudah cukup untuk memahami kota mana dan waktu kapan yang dimaksud dalam ujaran berikut:
a. “Saya tidak dapat pulang tahun ini.”
b. “Kota ini amat ramai.”
Melihat paparan dan contoh-contoh yang diberikan Nababan, tampaknya segala sesuatu yang berhubungan deiksis kinesik dan simbolik ini serupa dengan deiksis wacana, khususnya deiksis eksofora. Artinya, jika eksofora itu dirumuskan sebagai deiksis yang acuannya di luar tuturan atau ujaran, dan “baru bisa kita pahami jika kita melihat konteks tempat ujaran itu berlangsung”, maka dua contoh untuk deiksis kinesik di atas dapat juga dipakai untuk mencontoh deiksis eksofora. Dalam contoh tadi, deiksis persona dia dan kau mengacu kepada persona-persona di luar ujaran atau teks. Dalam rumusan deiksis kinesik dikatakan: “hanya dapat dipahami dengan pengamatan secara langsung” gerak anggota badan. Jadi, kinesik atau luar-tuturan tampaknya tergantung kepada titik pandang mana yang disasar. Jika titik pandang kita kepada teks dan konteks, kita berbicara tentang deiksis luar-tuturan. Jika titik pandang kita pada pengamatan langsung dan tidak langsung pada gerak anggota badan, maka kita berbicara tentang kinesik. Contoh-contoh untuk dieksis simbolik pun dapat dipakai untuk contoh deiksis luar-tuturan karena yang diacu oleh kota ini  dan tahun ini sebenarnya tidak ada di dalam teks melainkan di luarnya. Kita memang bisa mengetahui apa yang diacu kota ini kalau kita berada di kota ketika ujaran itu terucapkan; dan tahun ini jelas mengacu kepada tahun ketika ujaran itu terucapkan.






BAB III
PENUTUP

3.1  SIMPULAN
Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya he, here, now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses atau kala juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat di rujuk dari situasinya.
Deiksis ada enam macam, yaitu deiksis persona, dieksis penunjuk, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40).  Bentuk dieksis dapat digolongkan menjadi 3 yaitu dieksis morfem, deiksis kata, dan deiksis frasa. Para penganut aliran pragmatik yang lebih  “modern” mengemukakan adanya pemillihan lain, yakni deiksis luar-tuturan atau luar-ujaran ( atau eksofora ) dan deiksis dalam-tuturan atau dalam ujaran ( atau endofora ). Nababan, menyebut penjenisan lain, yakni deiksis sejati dan taksejati, dan deiksis kinesik dan simbolik


3.2 SARAN

Makalah yang penulis buat tentunya masih jauh dari yang namanya “sempurna”. Ini disebabkan oleh keterbatasan penulis, baik dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca mencari sumber – sumber lain yang berkaitan dengan Pragmatik khusunya tentang kajian Deiksis sehingga dapat menambah pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Karena ada pepatah yang mengatakan, “Semakin ilmu itu digali, maka semakin banyak yang tidak kita ketahui”. Jadikan hal tersebut sebagai pemacu Anda untuk terus maju dan meraih sukses.